Abd. Karim, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, IAIN Parepare. OPINI -- Fenomena terjadinya peristiwa “jual-beli perkara”, menjamurnya ...
Abd. Karim, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, IAIN Parepare. |
OPINI -- Fenomena terjadinya peristiwa “jual-beli perkara”, menjamurnya mafia dalam penegakan hukum, baik dalam bidang pertanahan, pertambangan, maupun dalam bidang perikanan dan perkebunan serta keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam perkara korupsi menjadi kenyataan pahit.
Badan usaha negara yang diharapkan menjadi salah satu sumber penerimaan negara akan tetapi selalu menelan kerugian keuangannya setiap tahun mencerminkan bahwa sistem manajemen pengelolaan lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sangat buruk. Sekalipun tidak semua BUMN sedemikian, akan tetapi BUMN tidak terbebas dari mafia hukum.
Peristiwa hukum yang terjadi dalam enam bulan terakhir seperti kasus narkoba yang melibatkan seorang jenderal polisi dan bawahannya serta suap yang terjadi di Mahkamah Agung (MA) saat ini merupakan puncak gunung es yang telah lama terjadi tanpa koreksi dan hukuman yang tegas terhadap para pelakunya. Sehingga keadaan sedemikian tampak belum memunculkan perubahan mendasar terutama dari segi etika, sikap moral aparatur hukumnya, dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diisi oleh norma agama dan kesusilaan tentang baik dan buruk, tercela dan tidak tercela.
Kelemahan utama di dalam penegakan hukum tidak terletak pada norma UU yang menjadi landasannya melainkan terletak pada moralitas dan etika aparatur penegak hukumnya termasuk hakim. Peristiwa demi peristiwa sebagaimana digambarkan di atas mencerminkan telah terjadi kemandulan rasa malu (feeling ashamed) dan rasa bersalah (feeling guilty) pada beberapa oknum penyelenggara negara terutama pada aktor-aktor penegakan hukum.
Karakter buruk tersebut merupakan embrio yang sudah membusuk yang harus segera diaborsi agar tidak menumbuhkan generasi bangsa dengan etika dan moralitas agama serta moralitas sosial yang mencapai titik nadir. Buah dari embrio tersebut telah terbukti selain dari berbagai kasus korupsi di atas juga diperparah adanya percaloan dalam berperkara yang diinisiasi oleh oknum penasihat hukum bekerja sama dengan oknum panitera majelis hakim sehingga terbentuk suatu jaringan terorganisasi yang secara sistematis telah menarik keuntungan (Financial Benefit) yang diisap dari orang yang berperkara.
Pihak yang seharusnya menang dikalahkan atau sebaliknya pihak yang seharusnya kalah berperkara, dimenangkan. Betapa kecewa dan sedih para pencari keadilan jika terjebak ke dan di dalam jaringan mafia peradilan ini dan ke mana lagi harus mengadukan nasibnya yang tidak menentu termasuk masa depannya.
Pemeo bahwa pengadilan adalah bentengnya keadilan telah runtuh. Pemerasan yang terjadi oleh oknum-oknum Aparat penegak hukum dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur membuktikan bahwa dalam pemberantasan korupsi telah digunakan “sapu-sapu kotor”.
Temuan BPK dalam praktik masih dapat dinegosiasi dalam dua jenis pilihan, disclaimer atau WTP, dan negosiasi tersebut dipastikan diambil dengan sejumlah dana.
Berkaca pada peristiwa-peristiwa hukum tersebut, kondisi kekinian hukum dan penegakannya telah memasuki suatu dunia, “Industri Hukum” (Mahfud MD).
Hal ini berjalan mulus sejak lama disebabkan sistem peradilan pidana yang dibangun terbukti keliru memahami hukum hanya dari sisi kebenaran formil semata, tidak dari yang seharusnya kebenaran materil, apa yang tampak secara formal benar, dalam hukum pidana tidak serta benar secara materil. Parasit ketidakadilan yang telah lama bercokol di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia layaknya kanker ganas yang sulit diobati, jika tidak pada UU-nya pada aparatur hukumnya.(*)
Tidak ada komentar