Muhammad Qadaruddi n Beredarnya berita salah seorang wa kil ketua MUI yang memboleh kan pelaksanaan salat jamaah tarwih dan jumat ba...
Muhammad Qadaruddin |
Beredarnya berita salah seorang
wakil
ketua MUI yang membolehkan pelaksanaan salat jamaah tarwih dan jumat bagi
daerah yang bukan zona merah, berita ini kemudian menjadi pemicu konflik dan
kecurigaan para jamaah kepada pemerintah dan MUI dibeberapa daerah yang belum
jelas zona hijau atau zona merah “siapa yang asli ulama” ungkapan ini terlontar
dibeberapa akun FB. Di youtube penulis menonton bagaimana seorang anak remaja
berkata “bahwa ustad salah”. Penulis juga pernah membaca opini tentang
pembolehan salat jamaah jika daerah tersebut dianggap aman.
Seakan jamaah tidak mendengar lagi ulama dan
pemerintah ”claim truth” masyarakat
ekslusif memandang dirinya paling beragama dan paling benar. Mengukur tingkat
keimanan, siapa yang ulama? Fenomena covid 19 menjadi barometer kredibilitas
seorang ulama, pemilihan seorang ulama bukan berdasarkan rasio akan tetapi
berdasarkan rasa dan nafsu, ulama hanya dijadikan pembenaran, sebelum ada
statemen wakil ketua MUI mereka sudah
berjamaah di masjid, statemen wakil ketua MUI hanya dijadikan pembenaran, jadi
siapa “ulama asli atau palsu”, jika sesuai keinginannya maka dia akan
mengikutinya. Jamaah sudah bertahun-tahun didakwahi oleh mubalig tersebut,
tetapi mereka tetap tidak mendengar kata mubalig tersebut. Ini bukti bahwa
dakwah yang selama ini hanya formalitas belaka. Jamaah tidak lagi mendengar
kata mubalig dan pemerintah. Dalam survey yang penulis lakukan bersama beberapa
peneliti rata-rata yang menyebabkan masyarakat stay at home bukan kata ulama atau pemerintah tapi karena
kesehatan. Ini bukti bahwa ulama dan pemerintah memiliki kredibilitas yang
masih rendah di saat pandemi ini.
Buat apa berdakwah jika para jamaah sudah
hebat semua ! mungkin kata ini pantas diucapkan para ulama, namun itulah
penolakan itulah tantangan dakwah, ulama dihina dan dicaci, namun tantangan
Dakwah Rasulullah lebih berat, dilempari kotoran dan ingin dibunuh, malah
beberapa sahabat dibunuh dalam dakwah. Pendapat ulama dan pemerintah jadi
salah. Penulis teringat satu perang Uhud dimana kaum muslim kalah dalam perang
itu karena pasukan tidak mendengar kata Nabi Muhammad saw, ketidak patuhan
pasukan pemanah ini menyebaban pasukan Nabi Muhammad saw harus mundur dan
sekitar 70 orang gugur dalam peperangan, selain itu salah seorang sahabat
Abdullah ibnu Ubay tidak sepakat dengan keputusan untuk bergerak ke luar
madinah, akhirnya, sisa pasukan 700 dari 1000 pasukan.
Saat perang Nabi berpesan agar pemanah
jangan meninggalkan Posnya dalam kondisi apapun menang atau kalah, dan akhirnya
berjalan baik, banyak pasukan Qurais yang tumbang, kaum muslim merasa sudah
menang, akan tetapi karena tergiur dengan rampasan perang akhirnya mereka
meninggalkan posnya dan tidak mengindahan kata Nabi Muhammad saw, sehingga
pasukan muslim diserang balik tanpa disangka oleh kaum muslim. Akhirnya,
pasukan muslim harus mundur. Ini bukti bahwa jika kita ingin menang melawan
covid 19 maka ketaatan masyarakat pada pemerintah dan ulama harus didahulukan
daripada egoisme beragama.
Covid 19 Ujian bagi seorang ulama dan
mubalig di tengah jamaah yang kian cerdas, dan merasa paling beragama.
Rasulullah dan para Nabi pun diuji oleh Allah, ujian yang hebat kepada
Rasulullah, sejak kecil ditinggal oleh orang tuanya, dalam penyebaran agama
Rasulullah ingin dibunuh, sehingga Rasulullah bersembunyi di gua Hira untuk
mengatur strategi dakwah karena pada saat itu kaum muslim masih sedikit,
sementara Rasulullah hidup di tengah kaum kafir. Oleh karena itu stay at home, isolasi diri merupakan
strategi dalam menghadapi covid 19 bukan karena kurang keimanan, akan tetapi
dengan kondisi yang tidak pasti “dar’ul
mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih” artinya menolak bahaya lebih utama
daripada mengambil manfaat, salat jumat memang bermanfaat, namun ada bahaya
maka lebih baik menolak bahaya. Maka lebih baik kita mendengar kata pemerintah
dan ulama. Soal zona hijau atau merah adalah urusan pemerintah yang menentukan.
Jika setiap masjid dianggap aman maka tidak ada salahnya salat berjamaah, namun
aman atau tidaknya harus sesuai SOP yang ada, misalnya di masjid itu semua
jamaah sebelum salat dites terlebih dahulu dan dipastikan tiap hari bahwa
daerah tersebut tetap zona hijau tidak berubah menjadi zona merah, hal ini
dilakukan tiap waktu salat, karena kita tidak mengetahui bagaimana aktifitas
seseorang tiap harinya, kecuali pada daerah tersebut diberlakukan PSBB dan
dipastikan aman.
Hal ini sesuai hadis Rasulullah “bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka jangan kalian memasukinya.
Tetapi jia wabah itu terjadi di daerahmu amu berada, maa jangan tinggalan
tempat itu” tidak ada jamaah yang keluar dan masuk daerah tersebut,
kemudian jamaahnya tetap tidak ada jamaah dari daerah lain. Jika memang
jamaahnya aman maka pemerintah seharusnya memberikan kebijakan. Semoga kita
senantiasa diberikan perlindungan Allah Swt dari segala kemudaratan, penyakit,
kerugian, serangan musuh, sihir “Bismillahilladzi
La Yadhurru Ma’asmihi Syai’un Fil Ardhi Wa Laa Fis Sama’i Wa Huwas Sami’un
Alim”
Penulis khawatir setelah fenomena covid 19
ulama bukan lagi sebagai opinion leader, namun
kembali pada mengkultuskan pimpinan kelompok-kelompok keagamaan yang memiliki
semangat keagamaan yang tinggi, namun kurang pengetahuan. Sebagaimana hadis
Rasulullah “akan tiba pada manusia tahun-tahun
penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap
bohong. Penghinat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ada yang
bertanya, siapa Ruwaibidhah itu? Nabi menjawab, orang bodoh yang mengurusi
urusan umum (HR.Hakim).
Disaat situasi seperti ini, kondisi yang
tidak menentu, banyak orang tiba-tiba pintar dan mengurusi urusan pemerintahan
dan kesehatan. Membuat keputusan yang boleh atau tidaknya sesuatu, hal ini
boleh jadi membahayakan orang banyak. Fatwa ulama dan himbauan pemerintah tidak
lagi didengar. Ulama dan pemerintah menjadi salah, berdosa, bodoh, tidak
beragama, dianggap kafir, sekuler dan liberal.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
memiliki kepercayaan dan tradisi yang kuat, tradisi mudik saja mereka berani di
tengah covid 19, apalagi persoalan agama, masyarakat Indonesia tradisi dan
agama masih menjadi landasan dalam segala aktifitasnya. Seharusnya keragaman
masyaraat Indonesia menjadikan negara ini menjadi kuat, bukan justru
melemahkan, agama dan tradisi menjadi kekayaan bangsa seharusnya mampu
bersinergi dengan negara, bagaimana jika tradisi dan agama hadir tanpa sebuah
negara? Dakwah akan semakin kuat jika ada negara sabagai wadah. Tradisi dapat
bertahan jika ada negara.
Pandemic ini mengubah cara pandang kita
tentang dakwah, dakwah kembali pada masa Rasulullah ketika kondisi kurang
bersahabat, yakni dakwah fardiyah, dakwah personal, dakwah face to face. Dakwah lebih
berorientasi personal sebagaimana dalam QS. At-Tahrim ayat 6 “jagalah/peliharalah dirimu dan keluargamu
dari apa neraka” makna perilahara adalah menurut Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu mengataan bahwa bermakna “didiklah
mereka dan ajarkan ilmu” selama ini para mubalig, dan ulama-ulama lebih
banyak berdakwah di tempat-tempat umum, “boleh dikata umurnya diwakafan untuk
umat dan agama” pada saat pandemic ini mubalig kembali berdakwah dari rumah dan
keluarga “kembali ke prinsif dakwah dimulai dari diri dan keluarga”. Hukum
dakwah secara khusus adalah fardu kifayah jika di tempat umum dan publik maka
dakwah hukumnya fardu kifayah, artinya cukup ulama-ulama yang berkompetensi
untuk berbicara tidak perlu semua masyarakat ikut berkomentar, namun jika di
rumah, stay at home, maka hukumnya
fardu ain, wajib setiap anggota keluarga untuk berdakwah dalam keluarga
masing-masing, karena paham atau tidak seseorang tentang agama dan dakwah, dia
wajib berdakwah di rumah masing-masing.
Strategi dakwah di saat pandemic ini, para
mubalig membuat program dawah di rumah masing-masing, misalnya program salat
berjamaah, program tadarrus berjamaah bersama keluarga, program belajar membaca
al-Quran. Pada pandemic ini seorang mubalig kembali melihat permasalahan dalam
keluarga baik itu tentang pendidikan anak, ekonomi keluarga, yang pada intinya
adalah kembali memperbaiki keluarga. Setelah menyusun sebuah program maka
program itu dilaksanakan dengan beberapa langkah, siapa yang menjadi da’inya
dan siapa mad’unya seharusnya kepala keluarga adalah dai’I dan mad’u-nya adalah
anggota keluarga, pesan-pesan dakwah yang disampaian sesuai program yang telah
dibuat, metode dakwah bisa dengan cara lisan dan dengan cara
perilaku/keteladanan, media dawah bisa menggunaan teknologi misalnya menyimak
ceramah mubalig melalui LCD, dst. Setelah melakukan dakwah maka dakwah itu
memiliki efek kognitif maupun apektif serta efek psikologis maupun sosial.
Pandemic ini mengharuskan kita mengoptimalkan dakwah dalam keluarga
masing-masing.
Tidak ada komentar