Page Nav

5

Grid

GRID_STYLE

IAIN Parepare

IAIN Parepare

Postingan Populer

Classic Header

{fbt_classic_header}

Postingan Populer

Breaking News:

latest

Untaian Sajak Pelupuk Lara

Nurlaela Yuliasri (Mahasiswa Prodi JI) Sejenak menepi, pada senja yang menawan. Remang-remang sang pujangga kian menarik rasa. Di s...


Nurlaela Yuliasri (Mahasiswa Prodi JI)

Sejenak menepi, pada senja yang menawan. Remang-remang sang pujangga kian menarik rasa. Di sudut ruangan berdinding putih polos itu, aku duduk berdiam diri. Sekiranya malam membawa dingin, tak jua jadi penawar. Reda yang seharusnya pergi justru membisu di tempat.
Aku mencoba menantang, menabur pelangi di senja kala. Usahaku gagal, batinku kian menjerit. Bingung, rasa yang membelengguku. Menyarungi jiwa untuk bersemanyam dalam bait-bait aksara dalam tulisan ini. Ruangan putih ini menjadi saksi. Pilihanku menemukan titik temu tulisan ini.
Aku bukanlah seorang pujangga yang mahir merangkai kata. Aku percaya, menulis adalah cara terbaik berkisah, ketika mulut sudah keluh berteriak dalam sunyi. Aku hanyut, merengek tuk segera diberi seteguk pelepas dahaga dalam dekapan kata. Angan tetap sama, meski skenario yang terjadi jauh berbeda dari harapku.
Saban hari, aku merimaji tuk pulang. Aku kembali patah, senandung rasa yang ingin ku persembahkan untuk tetuaku, harus dibuai oleh jarak. Ribuan kilometer terwakili oleh kata yang sarat akan makna. Rindu di bilik kasih kian memupuk, disaksikan  gulungan awan yang perlahan berubah menjadi temaram. Menegelamkan batin yang kian membrontak acapkali pesan tetuaku di bawa angin malam.
Kilasan kisah yang bertengger manis saat itu  menjadi melodi indah kala diri terombang-ambing oleh ruang dan waktu . Rasaku memuncak hingga meluap ke dasar laut biru paling dalam. Bibir terasa kelu tuk bersuara. Butiran kristal seringkali tak tahu malu bersender riang di pelupuk mata. Bergelanyut manja mengambil posisi untuk membasahi rupa dengan rasa tidak bersalah.
Pulang ke dapur ibu, pintaku setiap waktu. Tiga tahun terakhir ini, puasa ramadan memang berbeda. Aku ingin pulang, menyaksikan dengan mata suara ibuku bercerita. Menyeruput tak tersisa olahan makanan dari jemarinya. Mengamati rupanya, meski usianya tak lagi muda. Aku ingin egois, menghentikan waktu untuk bersua dengan ibu di dapur istana kami. Bolehkah aku menyulap waktu?


Tidak ada komentar