Muhammad Qadaruddin ( ketua Prodi Jurnalisti k Islam IAIN Parepare ) Opini -- Bulan Ramadan kali ini banyak hal yang berbeda dari ...
Muhammad Qadaruddin (ketua Prodi Jurnalistik Islam IAIN Parepare) |
Opini -- Bulan Ramadan kali ini
banyak hal yang berbeda dari Ramadan sebelumnya terutama segala aktifitas
dilakukan di rumah (WFH) selain itu rumah menjadi pusat pendidian anak (SFH),
pusat ibadah, perubahan yang begitu cepat membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan
diri, jika tidak mampu bersahabat dengan kondisi, maka kita akan kehilangan
kebahagiaan. Apa yang membuat orang bahagia? setiap orang menginginkan
kebahagiaan, namun terkadang kebahagiaan hanya diukur dan dilihat dari aspek
lahiriyah dan duniawi: harta kekayaan, kenikmatan, kedudukan. Tidakkah kita berpikir
bahwa kebahagiaan itu tidak hanya diukur secara lahiriyah, namun juga jiwa dan
ruhania, ketenangan jiwa “nafs mutmainnah”. Ketenangan jiwa dan ruhania dapat diukur dengan kondisi qolbu dan pikiran yang positif. Dalam
menghadapi kondisi saat ini adalah dengan Pikiran dan qolbu yang saling
terintegrasi.
Hati yang positif (qolbu salim) akan membuat otak bekerja
secara maksimal, hati dan pikiran positif akan membuat kebahagiaan dan
menciptakan kreatifitas dan produktifitas. Bagi kalangan yang mengagungan akal
cenderung mengabaikan hati (qulub)
begitupula bagi yang mengagungkan hati (qulub)
cenderung mengabaikan akal. Ke dua kelompok ini bisa dikatakan filusuf dan
sufi, jika keduanya digabungan maka akan lahir manusia sempurna (insan kamil). Manusia yang mampu mengoptimalan diri (nafs)
akal dan hatinya dalam segala aktifitas.
Kata kamil dalam bahasa
arab adalah sempurna (perfect) tamam
yang berarti lengkap, insan kamil lebih pada kesempurnaan secara jiwa (nafs) yang senantiasa bergerak menuju
ruhani. Manusia menurut Ibn Arabi adalah mikrokosmos yang menggabungkan semua
alam makrokosmos, manusia adalah alam shagir
alam kecil.
Kita menemukan banyak
orang yang cacat secara fisik namun mampu melebihi orang yang sempurna secara
fisik. Begitupula sebaliknya sempurna
secara fisik, namun sakit secara mental, ini biasa dikenal dengan complex atau sakit mental. Nafs manusia ada yang positif dan
negative, diri (nafs) yang senantiasa
bergerak kepada ruhani adalah nafs yang positif, sementara nafs yang senantiasa menjauh dari Allah adalah nafs negatif. Nafs senantiasa berubah, oleh karena itu
dibulan Ramadan ini kita mendekatkan diri (nafs) pada Allah taqallub atau tranformasi menuju sang
pencipta.
Dalam QS. At-Tin ayat 5
dikatakan bahwa ”sesungguhnya telah kami
ciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk” kata insan berasal dari kata nasiya-yansa yang berarti lupa, lupa merupakan symbol adanya akal
manusia. Pikiran merupakan ukuran kesempurnaan manusia karena akal adalah
pondasi keimanan. Namun akal tanpa keimanan adalah buta sebagaimana dalam
al-Quran Bani Israil: 72 dikatakan bahwa ”dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih
buta, lebih tersesat”, oleh karena itu insan kamil adalah manusia yang
menggabungan antara akal, hati dan ruh.
Sering kali kita menemukan
orang yang kaya tapi bunuh diri, orang yang beriman, namun kehilangan
peradaban, suatu pekerjaan tidak dapat selesai dengan baik karena kondisi emosi
lagi kurang baik “galau, tidak bisa move
on”. Seorang penulis susah menemukan ide tulisan karena emosinya tidak
stabil, begitupula pekerjaan yang lain, membutuhakan pikiran dan emosi positif.
Mengelola hidup tidak sekedar
menggunakan akal saja, atau hanya menggunakan hati, akan
tetapi mengelola hidup diperlukan akal dan hati, bagi seorang siswa dan mahasiswa
bukan hanya persoalan tingginya indeks prestasi akademik, bukan persoalan
pintar atau bodoh, bagi seorang pekerja bukan persoalan mendapatan jabatan atau
penghargaan, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana prestasi,
jabatan yang diperoleh dengan hati dan pikiran. Mengelola emosi, memotivasi
diri, membangun simpati dan empati, membangun hubungan yang positif, sehingga
menghasilan diri (nafs) atau individu yang cerdas dan juga memiliki
sensitivitas sosial (insan kamil). Begitupula dalam keluarga tidak hanya
disibukkan persoalan harta, akan tetapi yang paling penting adalah mengelola
emosi dalam keluarga, membangun hubungan yang lebih positif, keterbukaan “self disclouser” bagaimana jadinya jika
dalam rumah tangga perbincangan hanya seputar harta saja, tidak pernah
membicarakan persoalan agama, atau sebaliknya, kondis keluarga jauh dari keharmonisan.
Begitupula seorang
pemimpin bukan hanya persoalan menata tempat kerja dengan akal, akan tetapi
mempu mengelola hati, membangun tempat kerja yang lebih memberikan ketenangan
hati bukan ketakutan, walaupun tempat kerja dipenuhi dengan AC atau pendingin
ruangan, akan tetapi pemimpinnya tidak mampu mengelola hati bawahannya maka,
ruangan yang dingin tidak akan mampu mendinginkan suasana atau iklim
organisasi.
Ada 2 hal yang dapat
dilakukan dalam mengoptimalkan diri, yang pertama adalah takziyatun nafs atau mensucian diri dengan ibadah salat, puasa, zakat.
Kedua adalah wara atau meninggalan
hal-hal yang dapat merusak ibadah dan amal, di bulan Ramadan ini untuk mencapai
fitrah maka kita harus mengoptimalkan nafs.
Wara dengan mengoptimalkan pikiran bawah
sadar dalam menciptakan jati diri (nafs), segala sesuatu permasalahan dimulai
dari mindset jika pikiran tidak baik
maka segalanya akan tidak baik "sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
suatu kaum hingga dia tidak mengubah dirinya" jika seseorang tidak bisa
menyelesaikan masalahnya maka dia bagian dari masalah itu, segala sesuatu harus
dimulai dari diri (ibda binafsi) karena
hidup itu memiliki melodi "bila diri positif maka akan memancarkan sisi
positif untuk orang sekitar kita" memulai hari dengan kegiatan positif
maka sepanjang hari hidup akan pisitif,
dalam diri memiliki magnet bagi lingkungan, mensugesti diri dengan hal
positif dapat memancarkan aura positif.
Tazkiyatun nafs dengan mengoptimalan
ruhani dengan sholat, doa, puasa dst ibadah ini mampu membuat tubuh kita
rileks, dimana pikiran berada pada gelombang otak alfa dan theta, dimana otak
merasa rileks, kehidupan itu membuat tubuh bekerja keras, sehingga ada saat
dimana kita butuh rehat sejenak untuk "berdamai dengan diri" menonaktifkan
pikiran kritis kita yang senantiasa melawan diri hingga membuat kejenuhan,
ketegangan sehingga pikiran lebih dominan dari hati, terkadang kita butuh ke
alam bawah sadar untuk menggali potensi yang lebih besar "Allah telah
mengajarkan tentang nama nama benda semuanya" ayat ini menunjukkan bahwa
manusia memilki potenai besar saat diciptakan hanya saja potensi itu perlu
diangkat ke alam sadar dengan rileksasi, oleh karena itu bulan Ramadan adalah
bulan transformasi diri menuju sang pencipta.
Tidak ada komentar