Era Revolusi Industri 4.0 dan Era Society 5.0 merupakan dua tantangan besar yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini. Keberadaan kedua pe...
Era Revolusi Industri 4.0 dan Era Society 5.0 merupakan dua tantangan besar yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini. Keberadaan kedua peradaban baru ini melahirkan penemuan-penemuan baru di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang semakin memudahkan masyarakat Indonesia dalam memperoleh informasi.
Untuk mengembangkan dakwah yang lebih fleksibel, responsif dan adaptif, para dakwah harus menguasai dan membekali diri dengan psikologi dakwah. Sebab, dalam proses dakwah ini tidak lepas dari keadaan psikologis objek dakwah (mad'u). Dengan memahami keadaan psikologis subjek dakwah, maka da'i atau da'i dapat memahami sifat dan perilaku subjek dakwah.
Perkembangan teknologi menyebabkan model dakwah berkembang semakin cepat dan dinamis. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa konten-konten berbau radikalisme dan ekstremisme dengan cepat menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan psikologis untuk mengetahui bagaimana agama dipahami dan diamalkan dalam kehidupan.
Secara etimologis, dakwah berasal dari kata Arab dakwah. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'ayad'u yang berarti memanggil, memanggil atau memanggil. Mengenai kondisi Syekh Ali Mahfudh Moh. Ali Aziz (2004) mengatakan bahwa dakwah mendorong manusia untuk beramal shaleh dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru pada kebaikan dan mencegahnya melakukan keburukan guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Secara lebih fungsional, dakwah mengajak umat kepada suatu tujuan akhir yang rumusannya dapat diambil dari Al-Quran dan Hadits sesuai dengan ruang lingkup dakwah. Sebagai peristiwa komunikasi, pencurian dakwah dapat menimbulkan berbagai peristiwa dalam masyarakat, peristiwa yang serasi, menegangkan, kontradiktif dan juga dapat menimbulkan pemikiran yang berbeda-beda, baik yang moderat maupun ekstrim, sederhana atau kompleks, parsial atau menyeluruh.
Oleh karena itu, sebagai mediator dakwah, khatib tidak hanya menguasai materi dakwah, namun juga memahami karakteristik orang yang menjadi sasaran dakwah. Dalam proses dakwah, para khatib sangat perlu memahami keadaan sasaran dakwahnya baik dari segi usia, pengetahuan, pendidikan, geografi, dan lain-lain. Faktor dasar interaktif seperti anjuran, peniruan, simpati menuntut khatib mempunyai sifat dan kepribadian yang unggul untuk menarik sasaran dakwah (Mubarok, 1999).
Selain itu, khatib harus mampu membina hubungan yang baik dengan objek dakwah agar objek dakwah tidak segan-segan meniru dan meneladani sikap dan kepribadian khatib. Proses saling mempengaruhi antara khatib dan objek dakwah merupakan peristiwa spiritual.
Mengingat cara dakwah Walisongo yang menyesuaikan dengan budaya setempat, maka bisa kita pahami bahwa Walisongo sangat menguasai dan memahami psikologi dakwah. Pendekatan budaya Walisongo dalam berdakwah sangat berharga sebagai teladan bagi para dakwah di masyarakat era 5.0. Di era Society 5.0, para pendakwah harus beradaptasi dengan budaya lokal selama budaya lokal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Daripada dimusnahkan, budaya lokal harus dilestarikan sebagai salah satu nilai budaya bangsa. Pemanfaatan budaya lokal sebagai alat dakwah merupakan salah satu contoh penerapan psikologi dalam dakwah. Dengan menguasai dan menerapkan ilmu psikologi dalam berdakwah, maka para khatib berhasil menunaikan misi dakwahnya, termasuk misi dakwah era Society 5.0.
Kita saat ini hidup di era revolusi industri 4.0, era tersebut memerlukan perubahan yang luas dalam segala aspek dan bidang kehidupan manusia, termasuk dalam dakwah Islam. Selama setahun terakhir ini, pandemi Covid-19 memerlukan perubahan yang lebih cepat.
Kegiatan dakwah keagamaan harus diubah dari bentuk manual yang lama menjadi kegiatan yang menggunakan teknologi modern. Tak heran, banyak masjid yang memiliki studio mini yang menyiarkan pernyataan, ceramah, dan khotbah melalui media teknologi. Mereka belum puas dengan kegiatan dakwah tradisional yang dilakukan selama ini.
Materi dakwah dengan sentuhan teknologi tidak hanya bisa diputar saat khatib sedang berceramah, namun bisa dinikmati kembali kapan saja. Penggunaan teknologi dakwah Islam sangatlah penting karena waktu mendesak kita semua untuk berubah.
Boleh jadi ada pegiat dakwah yang belum mengetahui cara memanfaatkan media teknologi dengan baik karena tidak memiliki latar belakang teknis sebelumnya. Jika demikian, perlu kerja sama dengan pihak yang menguasai teknik tersebut.
Membantu dalam penyusunan suatu proyek dakwah akan mendapat pahala dan kebaikan yang setimpal, dan memberikan sarana kebaikan tentu akan mendapat kebaikan pula. Sebagaimana terlihat dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Barangsiapa menyiapkan kebutuhan pasukan di jalan Allah, maka itu sama saja dengan berperang”; (Muttafaq 'alaih). Pegiat dakwah tradisional memerlukan sentuhan teknologi dengan bantuan para pakar teknologi dan informasi, yang merupakan sinergi yang tepat untuk semakin memperluas manfaat dakwah Islam.
Semoga Allah swt. memperlancar segala urusan kita, termasuk berdakwah, menyebar kebaikan kepada seluruh umat, dengan media yang tepat dan sesuai Fitrah manusia sebagi obyek dakwahnya Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar